-->

Pendidikan Indonesia pada tahun 1994-Sekarang

- 18:05

Pada tanggal 2 Mei 1994 wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk tingkat SLTP dicanangkan. Sepuluh tahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 2 mei 1984, Indonesia juga memulai wajib belajar 6 tahun untuk tingkat SD, bersamaan dengan peresmian berdirinya Universitas Terbuka. Wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun mempunyai 2 tujuan utama yang berkaitan satu sama lain. Pertama, meningkatkan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi setiap kelompok umur 7-15 tahun. Kedua untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia hingga mencapai SLTP. Dengan wajib belajar, maka pendidikan minimal bangsa Indonesia semula 6 tahun ditingkatkan menjadi 9 tahun. 

Sasaran-sasaran wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam pelita VI adalah, pertama, meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) tingkat SLTP menjadi 66,19% dari keadaan pada awal pelita V yang mencapai 52,67%. Kedua, meningkatkan jumlah lulusan SD/MI yang tertampung di SLTP dan MTs sebesar 5400.000, yaitu dari 2,56 juta pada tahun 1993/1994 menjadi 3,10 juta pada tahun 1998/1999. Ketiga, tercapainya jumlah guru SD yang minimal berkualifikasi D-II sebayak 80%, guru SLYP berkualifikasi D-III sekitar 70%. Tantangan yang dihadapi oleh program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun memang lebih besar jika dibandikan dengan wajib belajar 6 tahun. Alasannya antara lain: pertama, pada saat dimulainya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, baru sekitar separuh dari kelompok umur 13-15 tahun yang berada di sekolah. Kedua, daya dukung berupa dana, sarana, dan tenaga yang dimiliki oleh Indonesia untuk melaksanakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun tidak lagi sebanyak pada saat dilaksanakan wajib belajar 6 tahun. Misalnya, pembangunan SD dalam jumlah besar melalui inpres. Ketiga, guna menampung 6,26 juta anak usia 13-15 tahun di SLTP diperlukan sarana, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit. Sejak di mulai pada tahun 1994, program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun mencapai banyak kemajuan. Indikator-indikator kuantitatif yang di catat menunjukan bahwa angka partisipasi meningkat sejalan dengan semakin bertambahnya ruang belajar, jumlah guru, dan fasilitas belajar lainnya. 

Kurikulum 1994 diberlakukan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994/1995. kurikulum 1994 disusun dengan maksud agar proses pendidikan dapat selalu menyesuaikan diri dengan tantangan yang terus berkembang, sehingga mutu pendidikan akan semakin meningkat. Kurikulum 1984 yang telah berjalan 10 tahun dipandang perlu untuk diperbaharui karena menurut hasil-hasil pengkajian, ditemukan adanya materi kurikulum yang tumpang tindih dan memerlukan penambahan. Misalnya tumpang tindih antara materi PMP, Sejarah Nasional, dan PSPB yang dalam kurikulum 1994 strukturnya lebih disederhanakan. Disahkannya UU No.2/1989 tentang sistem Pendididkan Nasional yang diikuti oleh berbagai peraturan pemerintah mempunyai implikasi pada perlunya kurikulum pendidikan mengalami penyesuaian. Menyusul terjadinya informasi, dilakukan kembali revisi atas kurikulum 1994 dengan menata kembali struktur programnya yang kemudian dikenal dengan kurikulum 1994 yang disempurnakan. 

Memasuki tahun 1995, pendidikan Indonesia menekankan pada pengembangan SDM yang mampu menjawab tantangan masa depan. Terdapat empat prioritas utama pelaksanaan pendidikan yaitu: 

1. Penuntasan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun. 

2. Peningkatan mutu semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan. 

3. Menghubungkan kebutuhan antara pendidikan dan industri. 

4. Peningkatan kemampuan penguasaan iptek. 

Pemerintah juga berusaha meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan jumlah dan mutu pengajar, peningkatan mutu proses belajar mengajar, dan peningkatan kualitas lulusan. Pemerintah juga berusaha menciptakan sekolah unggul dan mengembangkan kurikulum yang menekankan perbaikan metode mengajar dan perbaikan guru. 

Pada tahun 1998, suasana politik di Indonesia mengalami gejolak yang menyebabkan lahirnya era reformasi. Sistem pemerintahan berubah dari model sentralisasi menjadi desentralisasi. Penerapan otonomi daerah membuat penyelenggaraan pendidikan berubah menjadi otonomi pendidikan, terutama di jenjang pendidikan tinggi. Pada masa peralihan kekuasaan, pendidikan di Indonesia masih menerapkan kurikulum yang berlaku pada zaman orde baru. Kurikulum ini masih digunakan pada masa pemerintahan presiden Abdurrachman Wahid dengan beberapa perbaikan. 

Sistem pendidikan di Indonesia mengalami perubahan pada masa kepresidenan Megawati melalui kurikulum berbasis kompetensi. Kurikulum ini berbasis pada 3 aspek utama yaitu aspek afektif, aspek kognitif, dan aspek psikomotorik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memperbarui kurikulum tersebut menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang mencakup tujuan pendidikan, tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, serta silabus. 

Pada masa pemerintahan presiden SBY berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia. Upaya tersebut diawali penerbitan Instruksi Presiden No. 5 pada 09 Juni 2006 yang bertujuan mempercepat penyelesaian wajib belajar 9 tahun. Upaya ini membuat pemerintah melibatkan program pendidikan penyetaraan seperti paket A, B, dan C agar dapat mengadopsi kurikulum sesuai dengan standar yang berlaku. 

Jenjang pendidikan di Indonesia secara umum tidak banyak berubah. Akan tetapi, terdapat lebih banyak lembaga penyedia pendidikan untuk setiap jenjang pendidikan dimana melibatkan partisipasi pendidikan non-formal. 

Seiring dengan meningkatnya mutu dan partisipasi pendidikan dasar di Indonesia, dan berkembangnya minat terhadap pendidikan menengah, isu pendidikan di Indonesia kini beralih pada jenjang pendidikan tinggi. Pada tahun 2011, angka partisipasi kasar (GER) untuk pendidikan tinggi di Indonesia hanya mencapai 25 persen. Angka ini lebih rendah dibanding rata-rata global yang mencapai 31 persen dan kebanyakan negara anggota ASEAN. Meskipun demikian, angka ini sebenarnya meningkat signifikan dibanding sepuluh tahun yang lalu dimana angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia hanya mencapai 12 persen. 

Masuknya era pemerintahan presiden Joko Widodo (Jokowi) belum menunjukkan indikasi munculnya upaya radikal dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Secara fundamental, kebijakan pendidikan masih sejalan namun dengan beberapa perbaikan dan penyesuaian. Perubahan banyak terjadi pada tataran teknis dan masyarakat masih menanti upaya pemerintah dalam mengatasi masalah dan kekurangan dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Advertisement

 

Start typing and press Enter to search