Untuk menjelaskan berdasarkan ketentuan yuridis bahwa kejaksaan memiliki wewenang sebagai penyidik tindak pidana korupsi dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan berikut :
1. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
“Penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.”
2. Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”
3. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP :
“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP penyidik jaksa dan penyidik lainnya yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan.”
4. Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme :
“Apabila dalam hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya petunjuk adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk ditindaklanjuti.”
5. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”
6. Pasal 44 ayat (4) dan aya (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi :
“(4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.”
(5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepolisian atau kejaksaan wajib melakukan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.”
7. Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia :
(1) “Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.”
8. Fatwa Ketua Mahkmah Agung Republik Indonesia Nomor KMA1102/1/2005:
“berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.”
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa sampai dengan saat ini kejaksaan memiliki kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, diantaranya adalah tindak pidana korupsi.
Dalam hal tindak pidana korupsi apabila dilakukan bersama-sama oleh mereka yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer, apabila dilakukan penyidikan antara Kejaksaan dan POM TNI atau Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi, maka berdasarkan Pasal 91 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengkoordinir dan menendalikan penyidikan dan penuntutan adalah Jaksa Agung Republik Indonesia dan bunyi lengkap Pasal 39 tersebut adalah sebagai berikut :
“Jaksa Agung mengkoordinir dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.”
Koordinasi dan pengendalian tersebut dapat disubsitusikan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan Negeri, jika perkara tersebut ditangani oleh daerah, begitu juga jika perkara tindak pidana korupsi tersebut ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan POM TNI, maka yang mengkoordinator dan mengendalikan penyidikan dan penuntutan Menurut Ketentuan Pasal 42 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK adalah KPK dan bunyi pasal 40 tersebut adalah sebagai berikut :
“Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.”
Jika tidak ingin melakukan mengkoordinasikan atau mengendalikan penyidikan koneksitas yang dimaksud, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menyerahkan perkara tersebut kepada kejaksaan dalam hal ini Jaksa Agung untuk mengkoordinasikan dan mengendalikannya, tetapi menurut Pasal 44 ayat (5), pelaksanaan penyidikan koneksitas tersebut tetap dikoordinasikan dan dilaporkan perkembangannya kepada Komisi Pemberantasa Korupsi.
Dalam hal Tindak Pidana Korupsi yang disidangkan secara koneksitas di peradilan militer maka sesuai dengan ketentuan Pasal 40 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kewenangan Perwira Penyerah Perkara (PEPERA) sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 123 aya (1) huruf g yang menentukan perkara untuk diselesaikan menurut hukum disiplin prajurit dikesampingkan.
Selain itu beberapa aturan hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas, pengertian penyidikan koneksitas adalah penyidikan yang dilakukan bersama oleh tim penyidik yang masing-masing memiliki kewenangan terhadap seseorang yang tunduk pada peradilan umum maupun peradilan militer. Dengan demikian, berkas perkara hasil penyidikan koneksitas tersebut harus merupakan satu kesatuan yang untuk dengan tersangka mereka yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer, jika berkas perkara tersangka-tersangka tersebut terpisah atau displit, maka berkas perkara hasil penyidikan koneksitas dimaksud tidak memenuhi syarat penggarisan undang-undang.
Selanjutnya adalah tahap penuntutan, adapun tahapan penuntutan selanjutnya yang harus dilakukan oleh Jaksa sebagai Penuntut Umum adalah :
1. Pra Penuntutan
Pra Penunutan adalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 KUHAP tentang wewenang penuntut umum khususnya huruf b, mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (30 dan ayat (4) KUHAP, dengan memberikan petunjuk dalam rangka menyempurnakan penyidikan dari penyidik. Apabila berkas telah dinyatakan lengkap (P-21), maka penyidik akan menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum. Jaksa penuntut umum akan melengkapi berkas-berkas yang dilimpahkan ke pengadilan dengan berita acara pemeriksaan BA-10, yang dimaksudkan untuk meyakinkan apakah berkas benar-benar lengkap dan apakah sangkaan yang disangkakan kepada tersangka benar. Apabila Jaksa Penuntut Umum menemukan keraguan, akan dilakukan pemeriksaan tambahan.
2. Surat Dakwaan
Salah satu peran dari surat dakwaan adalah sebagai dasar tuntutan pidana (requisitoir). Setelah dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti (penyerahan tahan II), Jaksa Penuntut Umum menyiapkan Rencana Surat Dakwaan (Rendak). Rencana Surat Dakwaan (Rendak) disusun dan dilaporkan secara berjenjang dengan bertolah ukur jumlah kerugian negara, sebagaimana tahap penyelidikan dan penyidikan. Apabila Rencana Surat Dakwaan belum mendapat persetujuan, maka Rancangan Surat Dakwaan akan diperbaiki sesuai dengan petunjuk. Setelah Rancangan Surat Dakwaan mendapat persetujuan, maka surat dakwaan dan berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
Surat Dakwaan dirumuskan oleh Jaksa Penuntut Umum setelah sebelumnya dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan, meliputi, keterangan terdakwa, keterangan saksi, alat bukti, dan keterangan ahli. Dengan berdasarkan Pasal 160 ayat (3) KUHAP maka saksi sebelum meberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing.
Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya dan pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai.
3. Pelimpahan berkas ke pengadilan.
Pelimpahan berkas ke pengadilan adalah merupakan kewenangan untuk melakukan tindakan penututan dalam hal menurut yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim pengadilan. Baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun Kitab Hukum Acara Militer telah diatur tentang wewenang penuntut umum dalam hal
a) Mempersiapkan segala sesuatu untuk pelaksanaan persidangan.
b) Melaksanakan tindakan penuntutan di sidang pengadilan.
c) Melaksanakan penetapan hakim.
d) Melaksanakan upaya hukum lain dan upaya hukum luar biasa.\
KESIMPULAN
- Perkara koneksitas adalah suatu perkara tindak pidana yang dilakukan anggota sipil secara bersama-sama dengan anggota militer yang berbeda lingkungan peradilan nya (jurisdiksi peradilannya), diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum, kecuali menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara tersebut harus diperiksa dan diadili oleh peradilan militer. Dalam kehidupan ketatanegaraan, nampak perubahan yang mendasar tentang penyelenggaraan kehakiman yaitu, dahulu penyelenggaraan kehakiman dilakukan oleh Menteri Kehakiman yang memegang pimpinan Departemen Kehakiman, dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Perkara koneksitas dimulai dengan proses penyidikan (Pasal 89 KUHAP), penentuan pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas oleh Jaksa atau Jaksa Tinggi dan Oditur Militer atau Oditur Militer Jenderal (Pasal 90 KUHAP), lalu masuk ke tahap penuntutan, dan terakhir penentuan Majelis Hakim yang mengadili perkara koneksitas tergantung perkara koneksitas tersebut diadili dalam peradilan umum atau peradilan militer (Pasal 94 KUHAP).
- Proses penanganan perkara koneksitas dalam tindak pidana umum dengan pidana korupsi terdapat perbedaan di posisi penyidiknya. Dalam tindak pidana umum yang menjadi penyidik dalam perkara koneksitas tersebut adalah Polisi, sedangkan dalam tindak pidana korupsi yang menjadi penyidik dalam perkara koneksitas adalah Jaksa. Dalam perkara Penyalahgunaan Dana Tabungan Wajib Perumahan Tentara Nasional Republik Indonesia Angkatan Darat sebagian telah dilaksanakan sesuai hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP) dalam rangka penegakan hukum khususnya yaitu telah diatur cara penentuan pengadilan yang mengadilinya yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui prosedur penelitian bersama antara Jaksa dan Oditur Militer Jenderal atas hasil penyidikan perkaranya (Pasal 90 KUHAP). Begitu juga pembentukan majelis hakim yang terdiri dari 3 orang yang berasal dari unsur hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 2 orang dan unsur Hakim Mahkamah Militer 1 orang (Pasal 94 KUHAP). Namun dalam hal pembentukan tim penyidik, pembentukannya tidak berdasarkan KUHAP yaitu dengan Surat Keputusan Menhankam dan Menteri Kehakiman. Dalam kasus tersebut pembentukan tim penyidik berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung.
SARAN
- Beberapa ketentuan dalam KUHAP tentang koneksitas perlu ditinjau kembali khususnya dalam pembentukan tim penyidik (Pasal 89 ayat 2 KUHAP) karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan struktur pemerintahan dan perkembangan hukum seperti dalam pembentukan tim penyidik harus didasarkan Surat Keputusan Bersama Menhankam dan Menteri Kehakiman yang sekarang sudah diganti dengan Menteri Hukum dan HAM yang mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda.
- Perlu aparat penyidik, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim majelis yang profesisional, memiliki integritas kepribadian yang mantap atau moral yang baik dan disiplin yang tinggi dalam menangani perkara koneksitas tindak pidana korupsi, karena tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) dan bukan lagi ordinary crime (kejahatan biasa).
- Perlu kerjasama positif antara Kejaksaan dengan Oditur Militer dalam penanganan perkara koneksitas tindak pidana korupsi.
- Dalam penanganan perkara koneksitas dalam tindak pidana korupsi, dalam proses hukumnya harus bebas dari pengaruh politik dan kepentingan-kepentingan organisasi/lembaga serta dilaksanakan secara objektif.
Advertisement